Sunday 29 January 2012

Paranoid Politik Terhadap Taur Matan Ruak


Oleh: Frei Guterres Maulory II

Pemilihan Umum (pemilu) tinggal dua bulan lagi, sehingga membuat para konstestan dan kelompok-kolompok kepentingan (interest groups) mulai melakukan aksinya. Berbagai estrategi dirancang, mulai dari lobi politik, kritik sampai negative campaign. Tujuannya mengarah pada dua hal, pertama, menarik simpati massa sejak dini guna membangun opini (opinion building) bagi kelompoknya untuk menghadapi pemilu. Kedua, menabur hambatan dari sekarang bagi calon pesaing di pemilu nanti.

Mayor Jenderal Taur Matan Ruak yang berlatar belakang militer menjadi target utama lawan politiknya. Popularitas Taur Matan Ruak dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat . oleh karenanya, menjadi penting bagi lawan politik untuk mendekonstruksi bangunan popularaitas Taur Matan Ruak sehingga mengurangi simpati konstituen nantinya.

Dengan demikian lawan politik manapun mencari berbagai celah untuk dijadikan sasaran kritik bagi Taur Matan Ruak. Kritik yang sentar didengar berhubung dengan latar belakangnya sebagai seorang militer yang dihubungkan dengan pernyataan Taur Matan Ruak diberbagai media nasioanal yang dinilai bahwa Taur Matan Ruak cenderung otoriter bila menjabat sebagai presiden Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) nanti.

Kekahwatira berbagai pihak akan munculnya otoritarianisme baru dan desain institusi setelah melihat Taur yang berpangkat Mayor Jenderal secara resmi mengumumkan pencalonan dirinya sebagai calon predien (capres) Independen untuk periode 2012 - 2017 pada tanggal 10 Oktober 2011 di Mertuto, Ermera. Kekahwatiran lawan politik/politisi dan pengamat karena Taur berlatar belakang militer ikut serta dalam pilpres 2012, dianggap berbagai pihak cukup rasional. Tampaknya di kepala para politisi dan pengamat Timor-Leste berkembang sebuah asosiasi bahwa latar belakang militer identik dengan otoritarianisme (ditadura).

Hal itu bisa dimengerti meski tidak sepenuhnya benar, mengingat selama 24 tahun (1975-1999) Timor-Leste di bawah otoritarianisme Suharto yang berlatar belakang militer. Namun, kenyataan yang terjadi otoritarianisme tidak hanya muncul dari orang yang berlatar belakang militer namun bisa dari sipil. Indonesia pernah dibawa otoritarianisme Ir. Soekarno selama dua puluh tiga (23) tahun, pemimpin yang berlatar belakang sipil. Begitu juga Iraq, selama tiga puluh (30) tahun Iraq hidup dibawa otoritarianisme Saddam Hussein yang memiliki latar belakang sipil dengan partai Baath sebuah partai sosialis di Iraq.

Artinya orang yang berlatar belakang sipil juga dapat menjadi otoriter dan yang berlatar belakang militer bisa menjadi sipil. Di Amerika Serikat, seorang Jenderal bisa berubah menjadi sipil ketika menjadi presiden begitu juga Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menjadi Presiden ia benar-benar menjadi sipil.

Jadi latar belakang dari calon presiden bukan satu-satunya faktor penentu apakah Timor-Leste akan terjerumus ke sistem otoriter atau tidak. Selain pribadi capres, yang juga menentukan apakah sebuah Negara mudah terperosok kedalam otoritarian atau tidak, adalah desain institusi di Negara itu.
Desain institusi Negara Timor-Leste, yakini jenis sistem pemerintahan yang diterapkan dan pengaturan  Sistem Semi Presidensial dalam konstitusi. Keyakinan sebagai ilmuwan politik bahwa sistem Semi Presidensialisme sulit untuk melahirkan sistem otoritarianisme, karena Presiden hanya sebagai simbol seremonial. Meskipun Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata FALENTIL-Forsa Defesa Timor Losete (F-FDTL) namun Presiden tidak leluasa dalam mengambil keputusan tentang masalah pertahanan dan keamanan.

Seperti mengumumkan keadaan perang atau keadaan darurat, pengumuman tersebut mesti dengan persetujuan Parlemen Nasional setelah berkonsultasi dengan Dewan Negara (Konsellu Estadu), Pemerintah dan Dewan Tinggi Pertahanan dan Keamanan (konsellu superior defesa seguransa). Karena dalam sistem pemerintahan semi presidensial, fungsi kepala Negara dipengang presiden dan fungsi kepala pemerintah ada ditangan Perdana Menteri. Berbeda dengan sistem presidensial, kedua fungsi itu dipegang presiden.

Jadi menurut saya, sistem presidensialisme yang cenderung melahirkan otoritarianisme. Karena beberapa ciri khas sistem presidensialisme, seperti konsentrasi kekuasaan yang ada pada presiden, pemilihan langsung presiden dan masa jabatan presiden yang pasti.

Faktor konsentrasi kekuasaan yang membuat posisi presiden amat kuat. Jika dibandingkan dengan sistem semi presidensial. Presiden dalam presidensialisme memancarkan aura kekuasaan amat terang karena dialah yang memimpin ritual kenegaraan  dan mengendalikan pemerintahan. Seorang persiden bagaikan “raja” dalam bunkusan sistem politik modern.

Jadi intinya, kekahwatiran bahwa personalitas individu capres merupakan faktor terpentingnya untuk menilai seberapa besar peluang Timor Leste menuju ke sistem politik otoriter tidak sepenuhnya akurat. Faktor desain institusional yang diterapkan juga memberikan kontribusi yang sama besarnya dengan faktor personalitas capres.

Namun ada politisi yang bereaksi secara negatif bahkan berlebihan. Sejumlah politisi dan pengamat memperlihatkan "kecemasan yang terlampau tinggi" terhadap figur militer. Seakan sulit membedakan "sikap militer" dan “Sipil”, para kritisi tersebut terus-menerus memompa semacam "fobia militer” kecemasan dan ketakutan berlebihan terhadap figur Taur Matan Ruak yang berlatar belakang militer.

Saya cenderung menyebut sikap kecemasan yang mungkin juga menjurus ke arah sejenis antipati ini sebagai gejala "paranoid politik" terhadap Taur Matan Ruak. Mereka mengidentikkan Taur Matan Ruak semata-mata dengan “otoriter, represif, diktator". Idealnya, setiap politisi dan pengamat menawarkan pandangan yang proporsional dan seobyektif mungkin yang menempatkan publik pemilih pada posisi rasional, tidak tergiring ke salah satu sudut ekstrem pandangan tertentu.

Namun wacana dikotomi sipil-militer masuk akal dan berguna jika dilaksanakan secara kritis konstruktif. Untuk bahan mawas diri dan mengambil pelajaran bagi calon presiden. Bersama dengan sikap kritis konstruktif, agar dipahami dan dihormati pula dimensi-dimensi lain dari demokrasi, sistem dan prosesnya. Bahwa akhirnya, lewat pemilu, yakni pemilu presiden secara langsunglah, pilihan dan putusan dibuat oleh rakyat pemilih.

Penulis adalah Mantan Aktivis Klandestin sekarang sebagai Dosen dan Peneliti terhadap masalah Pertahanan Keamanan dan Politik Militar.

No comments: